So-Sial
Manusia adalah
makhluk sosial, saya juga lupa ini dipelajari dalam ilmu apa dan apakah
termasuk dalam pribahasa, istilah teori atau apapun, yang jelas mayoritas
menangkap pesan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, kehidupannya amat
bergantung pada orang lain. Interaksi
Sederhana,
ketika melihat teropong kehidupan dalam formalitas yang nyaris larut seperti
putaran film pada bioskop zaman dahulu, terus diulang dan diulang. Mahasiswa
misalnya, ketika ditanyakan padanya berapa persen atau jam yang diluangkan
waktunya dalam sehari atau seminggu untuk duduk bersama-sama sejajar selain
dengan temannya atau warga di lingkungan kampusnya.
Quality time
yang memang keluar dari rutinitas kosan-kampus-makan-jalan-jalan, dan memang
kita lakukan diluar keinginan untuk melampiaskan kepuasan kita tentang materi.
Waktu yang memang digunakan untuk niatan silaturrahmi, salam-salaman, berbicara
dan ngobrol untuk lebih mengenal orang sekitarnya.
Jika jawabannya
sedikit apakah masih kita pantas disebut makhluk sosial, atau lebih pantas
individual. Ya mboh silahkan ngaca sendiri. J
Jamaah oohh
jamaahh ~
Untung saja
selama ini kita alhamdulillah masih diberikan sebuah tuntunan dan tuntutan yang
ada dalam islam. Sebuah petunjuk yang memanusiakan manusia sesuai dengan
fitrahnya, memosisikan perannya dalam pemetaan yang sederhana, namun indah.
Keindahan
tersebut larut dan melepaskan belenggu sifat individual pada diri manusia itu sendiri
dalam berjamaah. Ya solat yang berjamaah.
Disini
seluruhnya datang dengan keadaannya masing-masing, melakukan gerakan dan dalam
barisan yang sama. Sejajar. Tak seorang pun tidak bisa mengelak menatap yang
lainnya, melihat sekeliling dengan decakan moril yang luar biasa. Dari yang
berstatus bekerja ataupun mahasiswa, tua maupun muda, tinggi atau tidak, hitam
ataupun putih. Membawa permasalahan masing- masing dari masalah financial,
keluarga, kesehatan, carut marut dan polemik dramatika kehdupan yang lainnya.
Toh kita ndak tahu ketika seorang anak kecil duduk manis mengadahkan tangannya
keatas, menutup matanya. Kita pun ndak tahu anak kecil itu apa doanya. Semuanya
polos. Bagi-Nya ini ndak masalah, yang penting apa yang ada dalam hati kita.
Lensa Sang Pencipta tembus hingga siulan hati yang paling kecil. Terdengar
Lantas bila
satu diantara lima kesempatan saja tidak bisa, islam masih saja memosisikan
manusia dalam lingkaran sosial pada siang hari di hari Jum’at.
Jump-ah (let’s
jump into Jum’at)
Dalam lima
waktu bila ndak sempat saking sibuknya, satu waktu dalam seminggu pun kembali kita ngumpul. Seakan berpesan“apa kamu tidak sudi untuk meninggalkan sebentar saja waktu dalam satu
minggu mu, tidak bertransaksi dan tidak mengerjakan lainnya, untuk hanya duduk
bersama-sama menyimak khutbah dan merasakan betapa beragamnya kehidupan ini
namun tetap selaras dalam harmoni gerakan spiritual mendalam”
Selalu saja
kita dihadapkan pada pandangan yang membentur nilai-nilai empiris dan rasional
oleh agama. Ndak semuanya pake otak kita pun bisa faham akan sesuatu. Tapi
pikiran hati tak seperti pikiran otak, kenyamanan dan kepuasaannya timbul dari
fitrahnya sendiri sebagai makhluq yang diciptakan dengan berbagai kebutuhan
yang harus dipenuhi dan tuntutan yang harus dikerjakan. Untuk kehidupannya atau
lebih tepatnya kehidupan hatinya.
Ya
mudah-mudahan aja ego kita ndak nambah, ketika proporsi jamaahnya dinilai
kurang. Kalau begitu adanya dan masih bisa hidup nyaman, ya ndak usah
dalam-dalam mengkaji manusia adalah makhluk sosial, mending tanya aja ke dosen
sosiologi. Paling disuruh buka buku, sial, hehe.