23 Maret 2012

Sang Pengabdi


Syair “Abu Nawas” yang terus di-replay oleh sang muadzin menunggu iqomah untuk terakhir kalinya kudengar mengiringi sang surya malu-malu terbenam di ufuk barat dan langit pun menguning. Magrib itu terasa berbeda, syahdunya maghrib hari ini menjadi penentu puluhan ustadz yang akan sungkem termasuk saya kepada Pa Kyai untuk meminta izin pulang/melanjutkan studinya di tempat yang berbeda-beda.


Masjid Pusaka yang atapnya berbentuk prisma segitiga tiga tingkat, bermotif jadul ini masih kuat meneduhi ustadz-ustadz yang sholat maghrib berjamaah di sana. Biasanya setelah sholat maghrib selesai, Pa Kyai menyampaikan tausiyah dan motivasi yang membahas berbagai permsalahan dan informasi yang menarik dan menggugah hati dan jiwa. Namun, acara pada maghrib itu hanya satu, dan saya telah menantikan saat ini selama tujuh tahun di pondok yaitu “permohonan ijazah”. Momen dimana Pa kyai menanyakan perihal niatan santri-santrinya ingin melanjutkan perjuangan hidupnya.

Bodohnya, aku belum punya gambaran yang jelas tentang hal ini, hanya satu alasan ku untuk kembali ke Bandung, karena ibu menelponku untuk pulang.

Hingga dimana saya telah buntu untuk menuliskan dan mengajukan dimana saya meneruskan studi saya, tangan saya bergetar mengenggam bolpoin, keraguan untuk menentukan pilihan menyelimuti seluruh tubuh saya. Jujur, Ini pilihan sulit.

Wajar memang saya miskin informasi gagap info tentang universitas di luar sana, baik dari pembagian konsentrasi IPA & IPS, PTN & PTS bahkan cara seleksinya. Setahu saya pada waktu itu di Bandung, hanya ada tiga PTN yaitu ITB, UIN dan Unpad, tanpa mengetahui apa saja seluk beluk Perguruan Tinggi tersebut. Pikiran ini pun hampir buntu dan akhirnya, kutulis dengan mantap di kertas tersebut :”Universitas Padjadjaran Bandung” di kertas keterangan tersebut,  tanpa tahu pasti itu di daerah mana Bandung, ingin mengambil jurusan apa dan bagaimana cara untuk kuliah disana. Saya hanya berharap Pa Kyai ridho dengan kepergian saya dengan mengenggam restu dari beliau yang selama ini banyak memberikan ilmu dan pelajaran kehidupan bagi saya. Ada sebuah tantangan unik dari Pa Kyai bahwa apabila dalam jangka lima tahun setelah keluar dari pondok tidak menghasilkan, melakukan sesuatu yang bermanfaat maka kita dicap kurang berhasil menjadi santri PM (baca: Pondok Modern)

Hingga  suara khas serak-serak basah nan berwibawa itu pun memecah lamunan saya. KH. Syamsul Hadi maghrib itu duduk dengan bijaknya memegang secarik kertas dan mulai berucap. Beberapa nama ustadz-ustadz yang mengabdi pun tersebut satu-satu dan ditanyakan kepada mereka tujuan dan apa yang mereka ingin kerjakan selepas keluar dari medan penggodokan di pondok ini. HIngga namaku pun tersebut

 “Sulthonul Aulia”

“Ana ustadz, jawabku dengan singkat”

“Aina tastamir dirosataka (dimana kau ingin melanjutkan studimu?)”

“Jamiatu Padjadjaran fi Bandung ust (Universitas Padjadjaran Ustadz di Bandung)” jawabku dengan denyut jantung yang sudah tak karuan, karena menunggu final decision dari empunya ridho kini

“Unpad? Hmmm” tangan beliau memegang dagu manggut-manggut, urat kepalanya menonjol, mungkin otaknya sedang berinteraksi dengan hati. Guratan dahinya mengerinyit, matanya tajam melihat kearahku.

“ayuuwah, jayiid Insya Allah, mannajah” (Baiklah, bagus insya allah, semoga sukses), jawab beliau singkat namun pasti

“Alhamdulillah, jawabku dalam hati, tubuh ini diam duduk bersila, namun pikiran dan hatiku girang bukan main entah kemana jingkrak-jingkrak. Perjuangan selama tujuh tahun minum air di pondok ini berujung pada pengabdian indah satu tahun ini, mataku langsung memandang ke langit maghrib itu. Sunyi dan damai dan aku melihat kota kelahiranku. Bandung I’m coming
Bersambung ……….
Read More - Sang Pengabdi