24 November 2012

Sosial atau So-Sial



So-Sial
Manusia adalah makhluk sosial, saya juga lupa ini dipelajari dalam ilmu apa dan apakah termasuk dalam pribahasa, istilah teori atau apapun, yang jelas mayoritas menangkap pesan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, kehidupannya amat bergantung pada orang lain. Interaksi

Sederhana, ketika melihat teropong kehidupan dalam formalitas yang nyaris larut seperti putaran film pada bioskop zaman dahulu, terus diulang dan diulang. Mahasiswa misalnya, ketika ditanyakan padanya berapa persen atau jam yang diluangkan waktunya dalam sehari atau seminggu untuk duduk bersama-sama sejajar selain dengan temannya atau warga di lingkungan kampusnya.

Quality time yang memang keluar dari rutinitas kosan-kampus-makan-jalan-jalan, dan memang kita lakukan diluar keinginan untuk melampiaskan kepuasan kita tentang materi. Waktu yang memang digunakan untuk niatan silaturrahmi, salam-salaman, berbicara dan ngobrol untuk lebih mengenal orang sekitarnya.

Jika jawabannya sedikit apakah masih kita pantas disebut makhluk sosial, atau lebih pantas individual. Ya mboh silahkan ngaca sendiri. J

Jamaah oohh jamaahh ~
Untung saja selama ini kita alhamdulillah masih diberikan sebuah tuntunan dan tuntutan yang ada dalam islam. Sebuah petunjuk yang memanusiakan manusia sesuai dengan fitrahnya, memosisikan perannya dalam pemetaan yang sederhana, namun indah.

Keindahan tersebut larut dan melepaskan belenggu sifat individual pada diri manusia itu sendiri dalam berjamaah. Ya solat yang berjamaah.

Disini seluruhnya datang dengan keadaannya masing-masing, melakukan gerakan dan dalam barisan yang sama. Sejajar. Tak seorang pun tidak bisa mengelak menatap yang lainnya, melihat sekeliling dengan decakan moril yang luar biasa. Dari yang berstatus bekerja ataupun mahasiswa, tua maupun muda, tinggi atau tidak, hitam ataupun putih. Membawa permasalahan masing- masing dari masalah financial, keluarga, kesehatan, carut marut dan polemik dramatika kehdupan yang lainnya. Toh kita ndak tahu ketika seorang anak kecil duduk manis mengadahkan tangannya keatas, menutup matanya. Kita pun ndak tahu anak kecil itu apa doanya. Semuanya polos. Bagi-Nya ini ndak masalah, yang penting apa yang ada dalam hati kita. Lensa Sang Pencipta tembus hingga siulan hati yang paling kecil. Terdengar

Lantas bila satu diantara lima kesempatan saja tidak bisa, islam masih saja memosisikan manusia dalam lingkaran sosial pada siang hari di hari Jum’at.

Jump-ah (let’s jump into Jum’at)

Dalam lima waktu bila ndak sempat saking sibuknya, satu waktu dalam seminggu pun kembali kita ngumpul. Seakan berpesan“apa kamu tidak sudi untuk meninggalkan sebentar saja waktu dalam satu minggu mu, tidak bertransaksi dan tidak mengerjakan lainnya, untuk hanya duduk bersama-sama menyimak khutbah dan merasakan betapa beragamnya kehidupan ini namun tetap selaras dalam harmoni gerakan spiritual mendalam”

Selalu saja kita dihadapkan pada pandangan yang membentur nilai-nilai empiris dan rasional oleh agama. Ndak semuanya pake otak kita pun bisa faham akan sesuatu. Tapi pikiran hati tak seperti pikiran otak, kenyamanan dan kepuasaannya timbul dari fitrahnya sendiri sebagai makhluq yang diciptakan dengan berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi dan tuntutan yang harus dikerjakan. Untuk kehidupannya atau lebih tepatnya kehidupan hatinya. 

Ya mudah-mudahan aja ego kita ndak nambah, ketika proporsi jamaahnya dinilai kurang. Kalau begitu adanya dan masih bisa hidup nyaman, ya ndak usah dalam-dalam mengkaji manusia adalah makhluk sosial, mending tanya aja ke dosen sosiologi. Paling disuruh buka buku, sial, hehe.

0 komentar:

Posting Komentar