2 November 2012

Alangkah Rapuhnya Hidup Ini





Untukmu yang telah pergi meninggalkan raganya, panggilan yang tak seorang pun tahu kapan ia mampir tanpa pamrih mengajak pergi dari dunia ini. Selamat jalan kawan, jiwamu tak pernah mati dan doa kami selalu menyertaimu.

Senyum di jumat pagi ini tidak kusangka adalah senyuman terakhirnya. Awalnya biasa saja, kita hanya bermain, bermain futsal seperti minggu-minggu sebelumnya, untuk menghilangkan penat dari ujian yang menggerayangi otak ini dan membuat lelah.

 Semuanya itu dimulai pada jam 08.00 pagi di lapangan YPKP,  lapangan yang kini menjadi sebuah memoriam bagi kami tentang seseorang. Daimul

Kami bertigabelas jika saya tidak salah hitung, seluruhnya bermain bergantian lima lawan lima, selamat bagi yang jago dan bisa menggolkan dua kali kegawang musuhnya dan dia akan tetap bermain. Jam menunjukkan pukul 08.30 ketika dia masih saja menjadi penjaga gawang walau berbeda tim, kami bermain seperti biasa, ya seperti biasa, tidak ada tanda-tanda pucat dan sesuatu yang menjelaskan alasan kenapa seseorang bisa dikatakan tidak sehat, hingga tiba saat seorang memanggilnya untuk diganti oleh yang lain, langkahnya ke luar lapangan itu menjadi langkahnya yang terakhir....

Kakiknya sudah tak kuasa menahan bobot badan yang tidak terkontrol, sempoyongan, benturan cukup keras mengenai wajah depan ia pun jatuh ke depan. Geraknya seperti seseorang yang tersandung batu, atau anak kecil yang baru belajar berjalan dan jatuh.

Suasana panik, mendadak kami bersama membopongnya ke arah luar lapangan memikirkan klinik rumah sakit, atau yang lainnya, tempat apapun yang bisa menolong teman kami yang sedang berada diantara hidup dan mati.

Dua menit berselang ketika ada seseorang pengunjung lapangan tersebut menawarkan mobilnya untuk siap membawa teman kami, tak terpikirkan sebuah tempat pun yang bisa saya tuju selain rumah sakit terdekat dari situ, RS Santo Yusuf, karena sudah habis kesabaran saya dengan lagak penjaga parkir yang tidak tahu arti kata “darurat”.

Setelah membaringkannya di tengah kursi mobil terlentang, semua sirkulasi udara mobil dibuka, semoga angin ini angin baik, sabarlah kawan bertahanlah, kita akan berusaha untuk mencari bantuan ... kataku dalam hati

Double lampu sen mobil saya tekan dengan gemetar, alunan tangan tak karuan keluar dari jendela untuk memberhentikan mobil yang lalu lalang kulakukan, saya hanya ingin dunia ini berhenti sesaat selain mobil ini. Berhentilah !!!

Lima menit berselang, setelah kami bertiga sampai di RS Santo Yusuf, UGD UGD !!! PA DARURAT !!! lima satpam bergegas mencarikan pendorong khusus dan mengeluarkannya dari mobil, bergegas sampai ke dalam ruang, dengan nafas yang kembang kempis mencari siapapun didalam ruang itu,

Dok, tolong teman kami mendadak pingsan ketika bermain futsal, dia main sekitar setengah jam, lalu sempoyongan dan jatuh, mulutnya mengeluarkan busa. Berbagai penjelasan kulontarkan untuk mencoba membantu sang dokter untuk mengambil sikap, sekarang kita serahkan padamu dok, sebagai penyambung takdir-Nya.

Secepatnya ruang operasi dibuka, alat kejut dan kabel yang terhubung di dadanya,  disamping petugas rumah sakit menanyakan pertanyaan-pertanyaan Anda siapa? Saya temannya, keluarganya ada? Nomor telp yang bisa dihubungi? ... Saya pun berdiri disampingnya hanya memandang dan berharap dengan segenap doa,  tapi itu hanya beberapa menit saja, operasi pun selesai dan dengan hempaan nafas dan tatapan yang tajam.

Maaf, teman anda sudah tidak ada ... ini seperti kasus alm adji masaid, ini serangan jantung mendadak. Seringkali terjadi ketika olahraga.
...................................
...................................
..................................
Aku pun terdiam .... dengan kucuran air mata tak percaya, aku hanya ingin menyahadatkanmu untuk terakhir kawan, berdiri disamping raganya yang tak berjiwa sekarang.

Tak lama berselang, teman-teman yang tadi bermain bersama sampai ke RS, Insan yang pertama, yang sibuk mencarikan nomor telepon keluarganya dan bantuan teman yang lain, hingga kakaknya datang untuk memastikan keresahan, sebuah realitas yang harus diterima bahwa adiknya telah wafat.

Lalu ibunya pun datang dengan mencoba untuk bersabar dan ikhlas, mengingat senyum anaknya yang telah membiru dan menjadi kaku. Terisak tangis yang mendalam sambil mengelus ngelus terus kakiknya, aku pun ingin memeluknya, andaikan aku perempuan.

“Padahal tanggal dua empat kemarin dia baru saja berulang tahun”, dari percakapan saya dengan sang ibu, almarhum adalah sosok yang sholeh, baik dan selalu ceria. Kenapa kamu tidak pamit nak ... ibunya terus menangis tersedu ..

Akhirnya sambil menunggu jemputan saudaranya, kami pun berdoa untuk terakhir kalinya di ruang jenazah,  menyalami tangannya dan mencoba membesarkan hati sang ibu yang telah membesarkan teman kami ini, maaf bu ini mungkin takdir tapi kami telanjur larut dalam ikhtiarnya.

Sebagian tinggal dan menemani sang ibu, dan sebagian dari kami pergi ke masjid untuk minta kepada imam untuk disolat ghoibkan, maaf teman, hanya doa yang bisa kami lakukan untuk sekarang. Mungkin jiwamu telah tiada tapi namamu akan selalu menjadi  bagian dari memoriam hidup kami sekalian, juga sebagai pengingat  ........ bahwa hidup ini sangat rapuh.






0 komentar:

Posting Komentar